Yuli Arfan

Laki-laki, 18 tahun

Semarang, Indonesia

Bermanfaat Bagi Orang Lain Tawadhuk.
::
Start
Yuli arfan
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

RISET NILAI BUDAYA JAWA DAN ISLAM DI MUSEUM RANGGAWARSITA


RISET NILAI BUDAYA JAWA DAN ISLAM DI MUSEUM RANGGAWARSITA

Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si




Oleh :
Yuli Arfan        (133511032)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Museum Ranggawarsita  merupakan sebuah aset pelayanan publik yang berfungsi sebagai pelestarian budaya, wahana pendidikan dan rekreasi yang terletak di Jl. Abdul Rahman Saleh No. 1 Kalibanteng Kulon Kota Semarang, Jawa Tengah. Museum ini diresmikan tanggal 5 Juli 1975 dan memiliki koleksi lebih dari 50.000 unit.
Selain memamerkan puluhan ribu koleksi budaya yang ada di Jawa, museum Ranggawarsita juga dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang sehingga dapat dinikmati oleh pengunjung.  Fasilitas tersebut antara lain 4 gedung pameran tetap, yang masing-masing terdiri dari 2 lantai, Ruang bioskop 3 dimensi, taman, auditorium dan satu ruang koleksi emas.
Dalam mini riset ini akan dijelaskan mengenai konsep penataan koleksi, sirkulasi dan zoning pada museum Ranggawarsita serta nilai-nilai budaya jawa dan Islam yang terdapat pada beberapa koleksi berdasarkan lima aspek peninggalan.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsep penataan koleksi, zoning, dan sirkulasi pada museum Ranggawarsita ?
2.    Bagaimana nilai-nilai budaya Jawa dalam lima aspek peninggalan ?
3.    Bagaimana nilai-nilai Islam dalam lima aspek peninggalan budaya ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Penataan Koleksi, Zoning, dan Sirkulasi
1.      Konsep Penataan Koleksi
Kondisi penataan koleksi musium tidak sebanding dengan perkembangan jumlah koleksi yang ada saat ini, sehingga pada tahun 2008 dilakukan penataan ulang dengan tujuan agar museum lebih terlihat menarik. Hal-hal yang diperhatikan adalah pengaturan pola sirkulasi, sifat konsep penataan kombinasi dan tematik,pengembangan materi koleksi yang spesifik, penyajian yang lebih representatif dengan adanya kombnasi 2D dan 3D, dan ketersediaan serta optimasi kondisi ruang eksisting,
2.      Zoning
a)    Gedung A
Gedung ini merupakan Ruang Geologi dan Paleontologi. Pada lantai satu menampilkan Gunungan Blumbangan, Meteorid, Material gunung berapi, stalaktit dan stalakmit, serta batu mulia. Pada lantai dua menampilkan kerangka gajah elephas, fosil gading gajah purba (Stegodon yang panjangnya lebih dari 3 meter, replika fosil Pithecanthropus Erectus VIII, fosil tanduk kerbau dan lukisan tentang kehidupan fosil.
b)   Gedung B
Gedung ini merupakan ruang sejarah Hindu-Budha, Islam dan Kolonial, dan Keramik dan Batik. Pada lantai satu memuat sejarah Hindu-Budha, Islam dan Kolonial, Arca Ganesha terbesar, arca bodhisatwa, pintu panduraksa masjid Kudus. Pada lantai dua memuat keramik pada dinasti Ming abad XIV dan batik dari beberapa kabupaten di jawa.
c)    Gedung C
Pada lantai satu menggambarkan masa penjajahan dan gerakan nasional. Sedangkan pada lantai dua menampilkan koleksi peralatan dan perlengkapan hidup.
d)   Gedung D
Pada lantai satu gedung ini menampilkan koleksi sejarah pasca kemerdekaan dan koleksi era reformasi. Sedangkan pada lantai dua menampilkan seni budaya dan tradisi serta Efnografi
3.      Sirkulasi
Pengunjung menerus pada lantai dasar (lantai 1) terhadap gedung koleksi yaitu dari gedung A,B,C ke D. Kemudian dilanjutkan ke lantai 2 dengan urutan kebalikannya, yaitu dari gedung D,C,B ke A.

B.     Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam Lima Aspek Peninggalan.
1.      Masjid Demak
Masjid Demak mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut saka Majapahit. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, mengandung candra sengkala, yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H. di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya.  Di sana juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.
2.      Menara Masjid Kudus
Menara Kudus berada dalam satu kompleks dengan masjid Kudus, tepatnya disamping kanan masjid. Menara ini didirikan bersamaan dengan dibangunnya masjid Kudus pada abad ke XVI Masehi. Letaknya di desa Kauman kabupaten Kudus.
Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian, yaitu kaki, badan, dan puncak bangunan. Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.
3.      Wayang
Wayang dalam bahasa jawa berarti “bayangan”. Secara umum, pengertian wayang adalah suatu bentuk pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang, yang dibantu oleh wiyaga atau orang penabuh gamelan dan waranggana atau penembang dengan menggunakan boneka atau sejenisnya sebagai alat pertunjukan.
Wanyang adalah buah karya seni adi luhung bangsa Indonesia. Ia merupakan wujud hasil olah sistem gagasan dan perilaku masyarakat Indonesia. Secara falsafati, wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau pencerminan yang ada dari dalam jiwa manusia. Sifat-sifat yang dimaksud antara lain seperti watak angkara murka, kebajikan, serakah dan lain sebagainya. Wayang sebagai tinggalan karya budaya nenek moyang bangsa Indonesia telah dijadikan tontonan, tuntutan dan sekaligus tuntunan dalam alam pikiran dan kehidupan bermasyarakan di Indonesia.
4.      Batik
Kondisi alam dan budaya telah mengilhami corak batik Jawa. Corak batik tersebut memiliki makna dan kedudukan tertentu dalam kehidupan masyarakat. Di jawa dikenal batik pedalaman dan batik pesisiran. Batik pedalaman berciri khas warna gelap seperti coklat maupun hitam. Adapun batik pesisiran memiliki corak warna khas yaitu warna warni.
Keindahan corak batik bertambah beraneka ragam seiring dengan perjalanan waktu serta sifat keterbukaan dan menerima budaya manca. Hal ini tampak dari batik dengan pengaruh Cina, Belanda, Jepang, dan Islam. Sekarang ini, kebebasan berekspresi yang terbuka dan perasaan kebanggaan terhadap budaya lokal telah merangsang melahirkan corak batik khas daerah masing-masing.
5.      Keris dan Tosan Aji
Tosan aji adalah sejenis senjata pusaka dari logam besi yang mendapat tempat terhormat di mata masyarakat, diantaranya berupa keris, tombak, dan pedang. Di Indonesia, ia merupakan wujud hasil olah gagasan dan perilaku masyarakat Indonesia. Budaya keris itu sendiri telah melalui proses pelajaran yang panjang yaitu sekirat abad ke VII. Nilai-nilai filosofisnya telah mewarnai budaya dan membentuk jati diri serta identitas bangsa yang mencerinkan karakter masyarakat Indonesia.
Keris dari sisi lain merupakan wujud aktualisasi dari pemikiran seorang empu terhadap lingkungannya. Hal ini melahirkan pula berbagai fungsi keris di masyarakat seperti, fungsi sosial, fungsi budaya, fungsi ekonomi, dan fungsi religi. Keris sebagai tinggalan karya budaya nenek moyong bangsa Indonesia yang telah lekat dalam alam pikiran dan kehidupan masyarakat Indonesia, perlu disebarluaskan dan dipahami secara utuh ke masyarakat luas, sehingga bersama-sama merasa memiliki dan melestarikannya.

C.     Nilai-Nilai Islam dalam Lima Aspek Peninggalan Budaya
1.      Masjid Demak
Masjid ini  menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki yang mempunyai makna Iman,Islam dan Ihsan. Atap limas  ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan  bentuk kubah. Di samping itu, masjid ini memiliki lima  buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki  makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Rukun iman juga digambarkan pada masjid ini, yaitu dengan adanya enam buah jendela yang menunjukan iman  kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari  kiamat, dan qadha dan qadar-Nya.
2.      Menara Masjid Kudus
Bentuk menara masjid Kudus ini dimaksudkan untuk menarik simpati masyarakat hindu pada waktu itu untuk memeluk Islam. Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.
Konon ceritanya, menara ini menunjukkan kedidagyaan Sunan Kudus sebagai penyebar agama Islam. Bangunan ini dipercaya sebagai bangunan yang dibuat oleh Sunan Kudus dalam waktu semalam dan terbuat dari sebuah batu merah yang terbungkus dalam sapu tangan berasal dari Makkah. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang merupakan "padasan" tersebut merupakan peninggalan kuna dan dijadikan sebagai tempat wudhu.
3.      Wayang
Dalam perkembangannya, saat dunia Islam mulai menyentuh pewayangan terjadi perubahan besar diseputar pewayangan. Cerita yang berhubungan dengan dewa-dewa diubah supaya akidah Islam bisa masuk dalam hati sanubari masyarakat. Hal ini dilakukan karena adanya dorongan untuk menyebarkan Islam di jawa secara halus dan tidak terkesan memaksa. Perkembangan yang terjadi sampai sekarang ini masih tersisa bahwa perjuangan para Walisongo telah mengilhami ketolerensian agama Islam dengan budaya setempat.
4.      Batik
Terdapat berbagai corak batik di Indonesia, misalnya batik Pelo Ati yang digambarkan dengan motif-motif bunga dan dedaunan yang secara filosofis memuat ajaran tasawuf.
Motif ayam pada batik Pelo Ati mengibaratkan mahluk hidup yang memiliki hati yang diibaraktan sebagai sifat-sifat baik pada manusia seperti zuhud, qana’at, shabar, tawakal, mujahadah, ridla, syukur dan ikhlas. Kemudian gambar ampela burung yang digambarkan berada di luar tubuh burung. Ampela adalah tempatnya kotoran dan harus dibuang sehingga dapat diibaratkan sebagai sifat-sifat  buruk manusia yang harus dibuang. 
5.      Keris dan Tosan Aji
Keris pada mulanya merupakan sebuah sarana sesaji. Keris merupakan simbol dan memiliki muatan-muatan religius yang dapatdi lihat dari bentuk dapur (tiap-tiap rincikan) dan pamornya. Keris dianggap sebagai pertemuan antara sang guru bakal (pasir besi dari bumi) dan guru dadi (batu meteor yang jatuh dari langit) sehingga merupakan satu konsep yang mendasar dari bersatunya hamba dan Tuhannya. Keris sebagai sarana sesaji hingga saat ini masih dapat dilihat pada upacara-upacara keagamaan di Jawa dan Bali. Memang keris tak lepas dari nilai spiritual, namun setiap keris selalu diciptakan oleh sang Empu untuk hal yang baik. Ada yang berfungsi supaya omongan (pembicaraan) selalu dipercaya orang, menambah kewibawaan, memperoleh rezeki dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada tahun 2008 museum ronggowarsito ini dilakukan penataan ulang. Penataan ulang tersebut dilakukan karena jumlah koleksi tidak sesuai dengan kondisi museum pada saat itu. Gedung ronggowarsito terdiri dari empat gedung, yaitu; gedung A, B, C, D. Dari empat gedung tersebut terdiri dari dua lantai.
     Peninggalan yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa diantaranya; Masjid Agung Demak, masji agung demak ini memiliki arsitektur yang dipengaruhi kerajaan yang berdiri di Demak. Menara masjid Kudus, memiliki arsitektur yang dipengaruhi oleh budaya Hindu Jawa. Batik, batik merupakan salah satu karya seni ciri khas Indonesia yang memiliki corak beragam dan memiliki makna tersendiri. Wayang menjadi salah satu budaya peningalan nenek moyang yang menjadi tontonan sekaligus tuntunan. Keris merupakan wujud ekspesi dari seorang empu, yang memiliki fungsi budaya, ekonomi, maupun kepecayaan.
     Nilai-nilai islam pada masjid Demak disimbolkan pada bantuk bangunannya, atapnya mempunyai makna Iman, Islam dan Ihsan, pada pintunya menyimbolkan rukun Islam dan pada jendelanya menyimbolkan rukun iman. Menara masjid Kudus menunjukkan kedidagyaan Sunan Kudus sebagai penyebar agama Islam. Wayang bertujuan agar akidah Islam bisa masuk dalam hati sanubari masyarakat Jawa. Motif batik pelo ati mempunyai pelajaran tasawuf. Keris sebagai suatu konsep yang mendasar dari bersatunya hamba dan Tuhannya.
Read More --►

TRADISI PUNJUNGAN : PENGGANTI UNDANGAN


TRADISI PUNJUNGAN : PENGGANTI UNDANGAN
Di desa Karang Malang Kec. Mijen Kota Semarang

Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si




Oleh :
Yuli Arfan       (133511032)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada zaman dahulu masyarakat pedesaan begitu kental dengan budaya gotong royong, tolong menolong dan menghormati orang yang dituakan. Budaya-budaya tersebut sering kali dijumpai saat ada acara-acara besar seperti perkawainan dan khitanan. Di desa Karang Malang dan sekitarnya terdapat satu rangkaian budaya yang difungsikan sebagai undangan untuk para sesepuh dan kerabat. Undangan tersebut berupa punjungan yang berisi makanan sebagai rasa penghormatan.
Seiring dengan perkembangan zaman dimana masyarakat semakin padat dan jangkauan yang luaspun bisa ditempuh dengan cepat, maka budaya “punjungan” ini semakin marak. Mungkin telah terjadi pergeseran orientasi dimana kalau dahulu berorientasi pada ungkapan rasa syukur atas rahmat tuhan akan tetapi sekarang cenderung kepada bisnis, bermewah-mewahan dan dipaksakan.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian punjungan?
2.      Bagaimana filosofi yang ada dalam punjungan?
3.      Bagaimana proses pelaksanaan punjungan?


BAB II
LANDASAN TEORI

Pesta perkawinan atau yang disebut juga walimah adalah pecahan dari kata “walama” artinya mengumpulkan. Karena dengan pesta tersebut dimaksudkan memberi doa restu agar kedua mempelai mau berkumpul dengan rukun. Selain itu tujuan walima adalah sebagai informasi dan pengumuman bahwa telah terjadi pernikahan, sehingga tidak menimbulkan fitnah dikemudian hari.
walimah perkawinan adalah perintah Nabi  Muhammad SAW sebagaimana sabda beliau kepada Abdurrahman bin ‘Auf: “adakan walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing”. Nabi Muhammad SAW pun memotong kambing ketika mengadakan walimah untuk perkawinan beliau denan zainab binti Jahsyi.[1] Seperti yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata,”Nabi mengadakan walimah saat menikahi istri-istrinya, tidak seperti walimah saat menikahi Zainab. Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari:5168,Al-Fath:9/289)
Dari keseluruhan proses, acara mengawinkan merupakan kegiatan terpenting, kegiatan sebelumnya merupakan kegiatan yang mendahului atau kegiatan persiapan bagi proses ini, termasuk juga acara akad nikah. Hanya dalam kegiatan inilah warga kerabat jauh dan dekat diberi tahu jauh-jauh hari sebelumnya dan diharapkan berkumpul selama beberapa hari pada acara mengawinkan.
Persiapan-persiapan untuk melaksanaakan hajat mengawinkan telah dimulai jauh-jauh hari sebelumnya. Berminggu-minggu sebelum pesta sedah dimulai mengumpulkan kayu api, yaitu dengan membeli, meramu di hutan, menebang kayu-kayu diatas tanah sendiri atau tanah kerabat atau tetangga dekat dengan seizin yang punya, yang dilaksanakan sekeluarga atau dengan bantuan kerabat atau tetangga dekatnya. Langkah lain ialah pemberitahuan secara resmi kepada kerabat dekat den tetangga dekat .[2]
Adanya perintah Nabi, baik dalam arti sunnah atau wajib, mengadakan walimah mengandung arti sunnah mengundang khalayak ramai untuk menghadiri pesta itu dan memberi makan hadirin yang datang. Tentang hukum menghadiri walimah itu bila ia diundang pada dasarnya adalah wajib. Kewajiban mengunjungi walimah itu berdasarkan kepada seruhan khusus Nabi untuk memenuhi undangan walimah.[3] Sesuai dengan yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian diundang ke walimah, maka datanglah”. (HR. Al-Bukhari: 5173,Al-Fath:9/299)
Kewajiban menghadiri walimah sebagaimana pendapat jumhur dan Zhahiriyah , bila undangan itu ditujukan kepada orang tertentu dalam arti secara pribadi diundang. Hal ini mengandung arti bila undangan walimah itu disampaikan dalam bentuk massal seperti melalui mass media, yang ditujukan untuk siapa saja, maka hukumnya tidak wajib.[4]



BAB III
KONDISI LAPANGAN

A.    Pengertian Punjungan
Punjungan berasal dari kata berkunjung yang mempunyai maksud “atur bekti” yaitu untuk menghormati para sesepuh, para tokoh masyarakat, dan saudara atau kerabat sebagai rasa penghormatan, mohon ijin dan mohon doa restu bahwa yang  bersangkutan akan mengadakan hajatan
B.     Filosofi Punjungan.
Makanan-makanan dalam punjungan disusun rapi dalam sebuah rantang. Isi dari punjungan hampir sama dengan slametan. Tingkat pertama berisi “jajanan” yang berupa jenang, kue lapis, wajik, tlogosari dan pisang. Pada tingkat ke dua berisi sayuran yang biasanya berupa bakmi, tumis buncis dan sambal. Kemudian pada tingkat ketiga berisi lauk pauk yaitu daging ayam, telur bacem, dan sambal goreng. Pada tingkat terakhir yang paling bawah adalah nasi. Semua makanan yang ada dalam punjungan ini masing-masing mempunyai arti.
 jenang, wajik dan kue lapis berada pada tingkat pertama yang mempunyai arti paling penting pada tradisi punjungan ini. Jenang yang berwarna hitam dan wajik yang berwarna putih mempunyai arti bahwa semua orang dari setiap golongan sama-sama diperlakukan dengan baik, karena orang jawa lebih condong ke silaturrahmi. Jenang dan wajik di jadikan satu tempat dengan kue lapis, dengan maksud hitam dan putih tersebut dapat disatukan. Pada tingkat kedua terdapat bakmi yang mempunyai arti agar panjang rizkinya dan agar semakin erat persaudaraannya seperti bakmi yang “diuntel-untel”. Kemudian pada tingkat ketiga terdapat telur bacem yang berwarna coklat yang mempunya arti bahwa orang jawa itu luarnya boleh jelek, tapi dalamnya tetap putih. Dan pada inti telur yang berwarna kuning yang melambangkan sosialistis. Adapun danging ayam yang merupakan maksud dari rasa penghormatan kepada para sesepuh, tokoh masyarakat dan saudara atau kerabat yang diberi punjungan. pada tingkat terakhir yaitu nasi sebagai simbol hasil alam. Nasi yang berwarna putih ini juga bertujuan untuk mewujudkan kesucian.[5]
C.     Proses Punjungan
Proses tradisi punjungan ini dilakukan biasanya satu minggu sebelum hajatan yang bersamaan dengan penyebaran undangan. Bahkan, di dalam bahasa desa kelurahan karang malang dan juga sekitarnya ini mempunyai istilah lain yaitu ”iras-irus” yang berarti sekalian. Sehingga fungsi punjungan ini juga sebagai undangan, hanya saja disertai dengan bingkisan makanan dalam satu rantang sebagai rasa penghormatan. 


BAB IV
ANALISA LAPANGAN

Tradisi punjungan pada masa lalu benar-benar merupakan syarat tingkat budaya untuk menghormati orang-orang tertentu yang disepuhkan. Seseorang yang mempunyai hajat dengan niat lillahi ta’ala menginginkan agar hajatannya sukses dan mendapat dukungan dari para sepuh. Orang-orang yang menerima punjungan merasa sangat tersanjung. Mereka akan datang dalam acara hajatan meski tidak membawa apapun, kemudian mereka akan diterima dengan baik.
Namun pada saat ini sudah terjadi disorientasi dalam tradisi punjungan, yaitu digunakan sebagai sarana untuk menambah bekal. Punjungan ini akan diberikan kepada siapa saja yang sekiranya dianggap akan menyumbang lebih banyak, sehingga orang-orang yang miskin sepuh tidak akan dipunjung lagi.  Disamping itu, respon dari masyarakan kebanyakan akan mengeluh saat menerima punjungan ini, karena dengan hadirnya punjungan ini harus menyediakan sejumlah uang sebagai isi amplop untuk membantu penyelenggaraan acara hajatan. Sebagai contoh orang-orang yang hanya diberi surat undangan akan menyumbang sejumlah dua puluh lima ribu rupiah, penerima punjungan harus menyediakan sejumlah uang sebesar lima puluh sampai seratus ribu rupiah. Ditambah lagi seakan-akan suatu kewajiban bagi orang yang dipunjung untuk menghadiri acara hajatan, karena jika tidak hadir akan timbul efek psikologis seperti rasa malu. Lain halnya dengan orang yang diundang tanpa punjungan, kehadirannya tidak begitu medapat tekanan dari orang yang punya hajatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi ini sudah mengarah menjadi bebab tersendiri bagi orang-orang tertentu. Bagi orang yang mampu hal semacam itu mungkin tidak ada masalah, namun bagi orang yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja merasa kesulitan, hal ini akan menjadi masalah dalam perekonomian mereka.


BAB V
KESIMPULAN

Tradisi punjungan digunakan sebagai sarana informasi akan diselenggarakan acara hajatan yang ditujukan kepada para sesepuh, tokoh masyarakat, dan saudara atau kerabat sebagai rasa penghormatan, mohon ijin dan mohon doa restu yang disertai dengan bingkisan. Tradisi ini dilaksanakan satu minggu sebelum hajatan dan mempunyai filosofi bahwa semua makanan yang ada didalam punjungan bertujuan untuk mempererat persaudaraan.
Pada zaman sekarang ini, tradisi punjungan mengalami disorientasi, yaitu sebagai sarana penambah bekal yang efeknya hanya menjadi beban bagi orang yang dipunjung.




DAFTAR PUSTAKA

Daud,Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997)
Mardani,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
Syarifudin,Amir,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta: Kencana, 2009)


BIODATA


Nama            : Yuli Arfan
NIM             : 133511032
Jurusan          : Pendidikan Matematika
Alamat          : Karang Malang Rt 02/01 Mijen Semarang
Riwayat Pendidikan :
                     SD Negeri Karang Malang
                     SMP Negeri 35 Semarang
                     SMA Negeri 13 Semarang
                     UIN Walisongo Semarang
Email            : yuli.arfan@gmail.com
Facebook      : Yuli Arfan
Twitter          : @hyuugaarfan
Blog              : y-arfan.blogspot.com



[1] Mardani,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN,(Yogyakarta:Graha Ilmu,2011), hlm. 198
[2] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 61
[3] Amir Syarifudin,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta:Kencana,2009),hal. 157
[4] Amir Syarifudin,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta:Kencana,2009),hal. 158
[5] Wawancara dengan ekwanto Hersusetya,S.pd pada tanggal 9 Juni 2015 pukul 10.00 WIB
Read More --►