Yuli Arfan

Laki-laki, 18 tahun

Semarang, Indonesia

Bermanfaat Bagi Orang Lain Tawadhuk.
::
Start
Yuli arfan
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

INTERELASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM ASPEK KEPERCAYAAN DAN ASPEK RITUAL


INTERELASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA
DALAM ASPEK KEPERCAYAAN DAN ASPEK RITUAL
MAKALAH
Guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.SI
Disusun Oleh :
1.      Hanif Fatkhur Aziz     (133511027)
2.      Ulfatul Arifah             (133511030)
3.      Yuli Arfan                   (133511032)
4.      Siti Diah Andriyani     (133511035)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Budaya Jawa merupakan hasil cipta, dan karya manusia Jawa yang tumbuh dan berkembang di pulau Jawa sebagai bagian dari peradaban masyarakat Jawa. Pada mulanya budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha yang sebelum Islam datang merupakan agama masyarakat Jawa. Sehingga, tradisi Hindu-Budha mengakar kuat sampai masuknya Islam dalam masyarakat Jawa.
Islam masuk dengan warna baru, dengan meniadakan sistem kasta yang menjadi penghalang dalam ajaran Hindu-Budha. Islam hadir ditengah masyarakat Jawa tidak langsung menghapus budaya Jawa sebelumnya, tetapi Islam mengolaborasikan atau memadukan budaya Islam, dan budaya Jawa. Proses perpaduan atau akultutasi budaya Islam dan Jawa kemudian menghasilkan kepercayaan dan ritual ataupun tradisi baru hasil Islamisasi Jawa, dan Jawanisasi Islam.
Beranjak dari hal itu, penulis menulis makalah yang berjudul “Interelasi Islam dan Budaya Jawa dalam Aspek Kepercayaan dan Aspek Ritual”.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses akulturasi budaya Jawa dan Islam?
2.      Bagaimana interelasi antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan?
3.      Bagaimana interelasi antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek ritual?





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam
Tradisi menyelaraskan antara agama Islam dan budaya Jawa itu telah berlangsung sejak awal perkembangan Islam di Jawa. Salah satunya ditulis dalam literatur karya sastra yaitu Serat Wirit Hidayah Jati karya R.N.G. Ranggawarsita yang merupakan kitab mistis yang cukup lengkap, dan padat. Adapun isinya adalah mengenal ajaran tentang Tuhan dan hubungan antara dzat, sifat, asma dab af’al Tuhan, uraian tentang penciptaan manusia, serta aspek budi luhur beserta sebagai ajaran yang berkaitan dengan mistik.[1]
Cara yang ditempuh agar nilai-nilai islam diserap oleh budaya Jawa ada dua, yaitu: pertama, Islamisasi kultur Jawa, dimana dalam pendekatan yang satu ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun secara substansial.  Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilahIslam, nama-nama Islam, pengambilan tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Kedua, Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa.[2]
Melalui cara pertama, islamisasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol keislaman tampak secara nyata dalam budaya Jawa. Contoh islamisasi kultur Jawa adalah slametan, slametan berasal dari Bahasa Arab salima –yaslamu – salaman yang berarti selamat. Menurut Quraish Shihab kata salam berarti luput dari kekurangan, kerakusan dan aib. Selain itu, ada juga upacara dugderan, merupakan upacara tradisional masyarakat Semarang bernuasa religius yang diadakan 1 hari menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. ciri khas acara ini adalah ditampilkannya Warak Ngendok yaitu sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing dan berkepala naa, berkulit seperti bersisik dan dibuat dari kertas warna-warni.[3]
Sedangkan pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa. Berbagai kenyataan yang ada telah menyatakan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawan atau Jawa yang keislaman sehingga timbul istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen. Sebagai contoh pada nama-nama orang banyak dipakai nama seperti Abdul Rahman, Abdul Razak, meskipun orang jawa Durahman, Durazak, dan lain-lain. Begitu juga penggunaan sebutan Jawa nerimo ing pandum yang pada hakekatnya adalah penterjemahan dari tawakkal sebagai konsep sufistik. Dalam fikih terdapat konsep sepikul-segendong sebagai bentuk pembagian harta waris dari konsep Islam, perbandingan 2 : 1 bagi anak laki-laki dengan anak perempuan. Demikian juga bentuk fisik tempat ibadah Islam (masjid) masih mengacu kepada bangunan tempat ibadah agama terdahulu (Hindu), dan masih banyak contoh yang lainnya.[4]
Kehadiran Islam di Jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa) melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang baru untuk menggantikan yang lama tetapi menambahkan sesuatu kepada yang lama, sehingga Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.[5]
Dari uraian proses akulturasi budaya Jawa dan Islam diatas, maka dapat dikatakan bahwa Budaya Jawa dan Islam berpadu menghasilkan budaya Jawa dengan khazanah islam. Sehingga, muncul masyarakar Jawa yang menaati aspek keislaman, tetapi juga tetap mempertahankan dan mengembangkan budaya Jawa atau disebut sinkretisme.
 
B.       Interelasi Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan dan keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci, atau yang ghaib. Dalam agama islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah akidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman, yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau diimani oleh muslim.
Sebelum kedatangan islam di Jawa, Hindhu, Budha, dan kepercayaan asli yang berdasarkan Animisme dan Dinamisme telah berurutakar di kalangan masyarakat Jawa. Dengan datangnya islam terjadi pergumulan antara islam di satu pihak dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya. Akibat dari itu, masyarakat jawa terbagi menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut[6]:
1.      Santri, yakni golongan masyarakat jawa yang beragama islam dan memegang teguh syari’at islam.
2.      Abangan, yakni golongan masyarakat jawa yang beragama islam namun kurang memegang teguh syariah islam. Mereka yang tergolong dalam kategori ini tidak shalat, puasa, dan sebagainya. Mereka juga masih mengerjakan amalan hindhu, seperti sesajen, grebegan, dan sebagainya.
3.      Priyayi, yakni golongan masyarakat jawa yang tergolong sebagai darah biru, atau bangsawan.
Sementara itu, dalam budaya jawa pra islam yang bersumberkan dari ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para Dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh-roh jahat, lingkaran penderitaan, hukum karma, dan hidup bahagia abadi. Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat Kasunyatan, juga percaya kepada Tuhan yang disebut dengan Sang Hyang Adi Budha.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu dan Budha , maupun kepercayaan Dinamisme dan Animisme itulah yang dalam proses perkembangan islam berinterelasi dengan kepercayaan dalam islam.
Pada aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid islam telah berkelindan dengan berbagai unsur keyakinan Hindhu-Budha maupun kepercayan primitive. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang tehimpun dalam Asma’ al husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi, dan lain-lain.
Keyakinan tentang adanya rasul dan nabi dalam islam sebagai utusan Allah yang dibekali oleh-Nya dengan mujizat untuk mengukuhkan kerasulan mereka, maka tidak mengherankan kalau mereka dipandang sebagai manusia yang luar biasa. Tampaknya  kepercayaan pada nabi telah mempengaruhi keyakinan lama orang jawa. Nama nabi Adam dihubungkan dengan beberapa nama dewa. Dalam silsilah raja-raja Jawa menurut penuturan Babad Tanah Jawi dinyatakan bahwa asal-usul raja Jawa adalah keturunan nabi Adam yang menurunkan Nabi Sis. Seterusnya Nabi Sis berputera Nurcahya. Nurcahya berputera Nurasa. Nurasa berputera   Sanghyang Wening. Sanghyang Wening berputera Sanghyang Tunggal, dan Sanghyang Tunggal berputera Batara Guru. Batara Guru berputera lima orang, yakni Batara Samba, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, dan Batara Wisnu. Batara Wisnu itulah yang menjadi raja di pulau Jawa.
Kaitannya dengan ketentuan (takdir) baik  ataupun buruk dari Tuhan, dalam budaya jawa tampaknya telah terpengaruh oleh Teologi Jabariyah sehingga terdapat kecenderungan orang lebih bersikap pasrah, sumarah, dan narimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Meskipun begitu manusia juga berpeluang untuk berikhtiyar. Namun, terdapat pula upaya-upaya ikhtiyar yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan primitive maupun bersumber dari ajaran Hindhu.
Beberapa nama nabi juga dikaitkan dengan doa-doa tertentu yang dipandang memiliki nilai-nilai khusus. Terdapat salah satu doa yang disebut doa Nabi Sleman (Sulaeman) untuk mendapatkan kewaskitaan dan keprabawaan. Nama-nama nabi juga dikaitkan dengan kepercayaan jawa tentang hari-hari atau bulan-bulan na’as. Pada hari-hari saat na’asnya para nabi, orang jawa tidak boleh “mantu”, seperti tanggal 13 bulan Sura, (na’asnya nabi Ibrahim yang dibakar oleh raja Namrud).[7]
Kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja ada pada agama islam, tetapi juga ada pada agama Hindu maupun kepercayaan primitif. Dalam islam makhluk jahat itu disebut syaithan, yang dalam lidah orang jawa diucapkan setan, dan pemimpin setan disebut iblis. Sementara itu, pada agaman Hindu jenis makhluk jahat atau roh-roh jahat meliputi roh jahat sebagai musuh dewa, antara lain Wrta musuh dewa Indra. Roh jahat yang lebih rendah derajatnya dari musuh dewa disebut Raksa, dan roh jahat pemakan daging atau jenazah disebut Picasa.
Menurut keyakinan islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam antara sebelum memasuki alam akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua atupun anak-anak. Menurut orang jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pasareyan). Mereka masih mempunyai kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu nyambangi dating ke kediaman anak keturunan. Roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang atau kerabat disebut dhanyang, bahureksa, atau sing ngemong.
C.      Interelasi Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Agama islam mengajarkan agar pemeluk-pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritual. Yang dimaksud kegiatan ritual disini meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun islam yang lima yaitu : syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Khusus mengenai sholat dan puasa, sholat memiliki makna do’a yang ditujukan kepada Allah SWT, sedangkan puasa merupakan bentuk dari pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani. Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang luas mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional jawa.
Dalam perkembangan Islam di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu “ aliran hikmah “ dan “ aliran kejawen “. Aliran hikmah berkembang dikalangan pesantren dengan ciri khas do’a atau mantra yang yang murni dengan bahasa Arab yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan aliran kejawen yang ada sekarang bukanlah kejawen murni, melainkan sydah bercampur dengan tradisi islam. Mantranya kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra jawa. Oleh kerena itu disebut dengan Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen. Tradisi Islam kejawen inilah yang lebih banyak mewarnai keilmuan silat rohani. Sebelum islam datang awal mulanya aliran kejawen menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan supra natural. Para pengembang ajaran islam di pulau jawa (Walisongo) tidak menolak tradisi tersebut, melainkan memanfaatkan sebagai mdia dakwah penyiaran islam. Para wali menyusun ritual tersebut dengan tatacara lelaku yang lebih islami, misalnya, puasa, wirid, wirid mantra yang disusun dengan campuran arab-jawa yang intinya adalah do’a kepada Allah. [8]
Di dalam hidup orang jawa terdapat penuh dengan upacara, baik upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak kelahiran sampai kematian, maupun upacara yang bekaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Secara luas, islam menyebutnya dengan kenduren atau slametan. inti dari upacara ini adalah pembacaan do’a (donga) yang dipimpin oleh seorang Modin, Kaum, Lebe, atau Kiai. Selain itu disajikannya seperangkat makanan yang dibagiakan kepada peserta slametan  untuk dibawa pulang yang disebut dengan berkat.
            Berkaitan dengan lingkaran hidup antara lain:
1.      Upacara Tingkeban atau Mitoni
Upacara ini dilakukan ketika janin berusia 7 bulan dalam perut Ibu.[9]Dalam tradisi santri, pada upacara tingkeban ini dilakukan dengan dibacakannya perjanjen yang diiringi dengan alat music tamborin kecil. Nyanyian perjanjen ini sesungguhnya merupakan riwayat Nabi Muhammad yang bersumber dari kitab Barzanji.
2.      Upacara Kelahiran
Upacara ini dilakukan ketika bayi berumur tujuh hari atau sepasar, dilakukan dengan pemotongan rambut (bercukur). Upacara ini disebut juga dengan slametan nyepasari. Dalam tradisi santri islam upacara ini disebut dengan kurban Aqiqah yang diucapkan dalam lidah jawa kekah, ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa dua ekor kambing bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.
3.      Upacara Sunatan
Upacara yang dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Dalam berbagai masyarakat pelaksanaanya berbeda-beda, ada yang melaksanakan pada usia empat sampai delapan tahun ada juga yang dilaksanakan pada usia dua belas sampai empat belas tahun. Pelaksanaan khitan merupakan wujud dari pelaksanaan hokum islam yaitu pernyataan pengukuhan sebagai orang islam. Karena itu sering kali sunatan disebut dengan nyelamaken atau ngislamaken.
4.      Upacara Perkawinan
Upacara ini dilakukan ketika pasangan muda mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syariat Islam yakni aqad nikah  (ijab qobul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan yang dilakukan berkaitan dengan upacara pernikahan ini dilaksanakan dalam berberapa tahap yakni pada tahap sebelum aqad nikah, pada tahap aqad nikah dan tahap sesudah aqad nikah (ngunduh manten), resepsi pengantin.
5.      Upacara Kematian
Pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, mensholati, dan pada akhirnya mengkuburkan. Setelah jenazah dikuburkan selama sepekan, tiap malam hari diadakan slametan mitung dina (tujuh hari), yaitu kirim do’a yang didahului dengan bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan sholawat Nabi yang secara keseluruhan sering disebut dengan tahlilan. Slametan  yang sama dilaksanakan saat kematian itu mencapai empat puluh hari (matang puluh), seratus hari (nyatus), satu tahun (mendhak sepisan), dua tahun (mendak pindho), dan tiga tahun (nyewu). Tahlilan dilakukan dengan menziarahi kubur yang disebut dengan upacara nyadran.
Bentuk upacara lain selain lingkaran hidup terdapat pula upacara yang berkenaan dengan kekeramatan bulan-bulan hijriyah seperti upacara , suran, saparan, dina wekasan muludan, rejeban. Sementara itu terdapat jenis upacara tahunan, yaitu upacara yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Termasuk dalam jenis upacara ini adalah upacara memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 maulud yang disebut dengan muludan.  Berkenaan dengan muludan ini, beberapa keratin dirayakan pesta sekaten  dan upacara Grebeg Mulud.[10]
Dapat kita lihat dari paparan diatas, Budaya Jawa dan Islam dalam aspek ritual memiliki interelasi yang erat. Ritual-ritual islam dibungkus dengan budaya Jawa yang tetap memegang erat syari’at Islam.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas mengenai Interelasi Budaya Jawa dan Islam dengan Kepercayaan dan Ritual dapat disimpulkan :
1.        Akulturasi Islam dengan budaya Jawa membawa dampak baik dengan mudah diterimanya Agama Islam dihati masyarakat Jawa. Budaya Jawa dan Islam berpadu menghasilkan budaya Jawa dengan khazanah islam. Sehingga, muncul masyarakar Jawa yang menaati aspek keislaman, tetapi juga tetap mempertahankan dan mengembangkan budaya Jawa atau disebut sinkretisme.
2.        Setiap Agama memiliki suatu kepercayaan. Di Jawa munculnya keberadaan Agama dimulai dengan adanya kepercayaan Animisme dan Dinamisme.  Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu dan Budha , maupun kepercayaan Dinamisme dan Animisme itulah yang dalam proses perkembangan islam berinterelasi dengan kepercayaan dalam islam.
3.        Islam mengharuskan pemeluknya melaksanakan ritual-ritual yang memiliki makna tersendiri yang tersirat dalam rukun islam . Ritual-ritual yang berisikan syari’at tersebut dikemas dalam cover budaya Jawa, sehingga dengan mudah masyarakat Jawa menerima ajaran Islam. Ajaran tersebut dilakukan dengan tidak meninggalkan budaya yang telah ada.
B.       Saran
Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat dijadikan sebagai materi ataupun referensi tambahan dalam mempelajari tema yang relevan dengan judul makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, dan khususnya bagi penulis. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran konstruktif dari para pembaca demi perbaikan makalah ini.  



DAFTAR PUSTAKA

Jamil, Abdul ,dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Khafid, Afnan,  A Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian, Surabaya: Khalista, 2006.
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013.
Simuh, mistik islam kejawen, Yogyakarta: Pustaka Raja Purwa, 1980.



BIODATA PENYUSUN MAKALAH
1.      Nama                           : Hanif Fatkhur Aziz
NIM                           : 133511027
Jurusan                       : Pendidikan Matematika
Alamat                        :  Dk. Putat Ds. Sumanding RT 10/ 03 Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara
Riwayat Pendidikan :
TK Takbiratul Atfal Sumanding
SD Negeri 01 Sumanding
MTs Matholi’ul Falah Sumanding
MAN 01 Bawu Jepara
UIN Walisongo Semarang
Email                          : haniffatkhuraziz95@gmail.com
Facebook                    : Hanif Fatkhur Aziz
Blog                            : hanif43@blogspot.com
2.      Nama: Ulfatul Arifah
NIM: 133511030
Jurusan: Pendidikan Matematika
Alamat: Jl. Kauman RT 03 RW 07 Dsn. Kaluwan Ds. Boloh Kec.Toroh Kab.Grobogan
Riwayat Pendidikan :
TK Dharmawanita Boloh
SD Negeri 01 Boloh
SMP Negeri 1 Toroh
MAN Purwodadi
UIN Walisongo Semarang
Facebook : Ulfa pa uL
Blog : ulfatularifah.blogspot.com
3.      Nama: Yuli Arfan
NIM: 133511032
Jurusan: Pendidikan Matematika
Alamat: Karang Malang Rt 02/01 Mijen Semarang
Riwayat Pendidikan :
SD Negeri Karang Malang
SMP Negeri 35 Semarang
SMA Negeri 13 Semarang
UIN Walisongo Semarang
Facebook : Yuli Arfan
Blog: y-arfan.blogspot.com
4.      Nama: Siti Diah Andriani
NIM: 133511035
Jurusan: Pendidikan Matematika
Alamat: RT 3/RW 1, Gunungan, Todanan , Blora
Riwayat Pendidikan :
SD Negeri   : SD N Gunungan
Mts              : Mts. Khozinatul Ulum
SMA           : SMA M 05 Todanan
UIN Walisongo Semarang
Facebook : Dyah Andriani
Blog: coretan-dyah-96.blogspot.com





[1] Simuh, mistik islam kejawen, Yogyakarta: Pustaka Raja Purwa, 1980, hlm. 4
[2] Abdul Jamil, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 119

[3]  Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Zaman, 2013, hlm. 41-42
[4] Abdul Jamil, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, ..., 2000, hlm. 119-120
[5]  Shodiq, Potret Islam Jawa, ..., hlm. 42
[6] Shodiq, Potret Islam Jawa, ..., hlm. 44
[7] Abdul Jamil, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, ..., hlm. 129
[8] Shodiq,Potret Islam Jawa ,... , hlm.45-46
[9] Afnan Khafid, A Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian, Surabaya: Khalista, 2006,hlm.8
[10] Abdul Jamil,dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, …, hlm.130-133