Yuli Arfan

Laki-laki, 18 tahun

Semarang, Indonesia

Bermanfaat Bagi Orang Lain Tawadhuk.
::
Start
Yuli arfan
Shutdown

Navbar3

Search This Blog

TRADISI PUNJUNGAN : PENGGANTI UNDANGAN


TRADISI PUNJUNGAN : PENGGANTI UNDANGAN
Di desa Karang Malang Kec. Mijen Kota Semarang

Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si




Oleh :
Yuli Arfan       (133511032)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada zaman dahulu masyarakat pedesaan begitu kental dengan budaya gotong royong, tolong menolong dan menghormati orang yang dituakan. Budaya-budaya tersebut sering kali dijumpai saat ada acara-acara besar seperti perkawainan dan khitanan. Di desa Karang Malang dan sekitarnya terdapat satu rangkaian budaya yang difungsikan sebagai undangan untuk para sesepuh dan kerabat. Undangan tersebut berupa punjungan yang berisi makanan sebagai rasa penghormatan.
Seiring dengan perkembangan zaman dimana masyarakat semakin padat dan jangkauan yang luaspun bisa ditempuh dengan cepat, maka budaya “punjungan” ini semakin marak. Mungkin telah terjadi pergeseran orientasi dimana kalau dahulu berorientasi pada ungkapan rasa syukur atas rahmat tuhan akan tetapi sekarang cenderung kepada bisnis, bermewah-mewahan dan dipaksakan.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian punjungan?
2.      Bagaimana filosofi yang ada dalam punjungan?
3.      Bagaimana proses pelaksanaan punjungan?


BAB II
LANDASAN TEORI

Pesta perkawinan atau yang disebut juga walimah adalah pecahan dari kata “walama” artinya mengumpulkan. Karena dengan pesta tersebut dimaksudkan memberi doa restu agar kedua mempelai mau berkumpul dengan rukun. Selain itu tujuan walima adalah sebagai informasi dan pengumuman bahwa telah terjadi pernikahan, sehingga tidak menimbulkan fitnah dikemudian hari.
walimah perkawinan adalah perintah Nabi  Muhammad SAW sebagaimana sabda beliau kepada Abdurrahman bin ‘Auf: “adakan walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing”. Nabi Muhammad SAW pun memotong kambing ketika mengadakan walimah untuk perkawinan beliau denan zainab binti Jahsyi.[1] Seperti yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata,”Nabi mengadakan walimah saat menikahi istri-istrinya, tidak seperti walimah saat menikahi Zainab. Beliau mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari:5168,Al-Fath:9/289)
Dari keseluruhan proses, acara mengawinkan merupakan kegiatan terpenting, kegiatan sebelumnya merupakan kegiatan yang mendahului atau kegiatan persiapan bagi proses ini, termasuk juga acara akad nikah. Hanya dalam kegiatan inilah warga kerabat jauh dan dekat diberi tahu jauh-jauh hari sebelumnya dan diharapkan berkumpul selama beberapa hari pada acara mengawinkan.
Persiapan-persiapan untuk melaksanaakan hajat mengawinkan telah dimulai jauh-jauh hari sebelumnya. Berminggu-minggu sebelum pesta sedah dimulai mengumpulkan kayu api, yaitu dengan membeli, meramu di hutan, menebang kayu-kayu diatas tanah sendiri atau tanah kerabat atau tetangga dekat dengan seizin yang punya, yang dilaksanakan sekeluarga atau dengan bantuan kerabat atau tetangga dekatnya. Langkah lain ialah pemberitahuan secara resmi kepada kerabat dekat den tetangga dekat .[2]
Adanya perintah Nabi, baik dalam arti sunnah atau wajib, mengadakan walimah mengandung arti sunnah mengundang khalayak ramai untuk menghadiri pesta itu dan memberi makan hadirin yang datang. Tentang hukum menghadiri walimah itu bila ia diundang pada dasarnya adalah wajib. Kewajiban mengunjungi walimah itu berdasarkan kepada seruhan khusus Nabi untuk memenuhi undangan walimah.[3] Sesuai dengan yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian diundang ke walimah, maka datanglah”. (HR. Al-Bukhari: 5173,Al-Fath:9/299)
Kewajiban menghadiri walimah sebagaimana pendapat jumhur dan Zhahiriyah , bila undangan itu ditujukan kepada orang tertentu dalam arti secara pribadi diundang. Hal ini mengandung arti bila undangan walimah itu disampaikan dalam bentuk massal seperti melalui mass media, yang ditujukan untuk siapa saja, maka hukumnya tidak wajib.[4]



BAB III
KONDISI LAPANGAN

A.    Pengertian Punjungan
Punjungan berasal dari kata berkunjung yang mempunyai maksud “atur bekti” yaitu untuk menghormati para sesepuh, para tokoh masyarakat, dan saudara atau kerabat sebagai rasa penghormatan, mohon ijin dan mohon doa restu bahwa yang  bersangkutan akan mengadakan hajatan
B.     Filosofi Punjungan.
Makanan-makanan dalam punjungan disusun rapi dalam sebuah rantang. Isi dari punjungan hampir sama dengan slametan. Tingkat pertama berisi “jajanan” yang berupa jenang, kue lapis, wajik, tlogosari dan pisang. Pada tingkat ke dua berisi sayuran yang biasanya berupa bakmi, tumis buncis dan sambal. Kemudian pada tingkat ketiga berisi lauk pauk yaitu daging ayam, telur bacem, dan sambal goreng. Pada tingkat terakhir yang paling bawah adalah nasi. Semua makanan yang ada dalam punjungan ini masing-masing mempunyai arti.
 jenang, wajik dan kue lapis berada pada tingkat pertama yang mempunyai arti paling penting pada tradisi punjungan ini. Jenang yang berwarna hitam dan wajik yang berwarna putih mempunyai arti bahwa semua orang dari setiap golongan sama-sama diperlakukan dengan baik, karena orang jawa lebih condong ke silaturrahmi. Jenang dan wajik di jadikan satu tempat dengan kue lapis, dengan maksud hitam dan putih tersebut dapat disatukan. Pada tingkat kedua terdapat bakmi yang mempunyai arti agar panjang rizkinya dan agar semakin erat persaudaraannya seperti bakmi yang “diuntel-untel”. Kemudian pada tingkat ketiga terdapat telur bacem yang berwarna coklat yang mempunya arti bahwa orang jawa itu luarnya boleh jelek, tapi dalamnya tetap putih. Dan pada inti telur yang berwarna kuning yang melambangkan sosialistis. Adapun danging ayam yang merupakan maksud dari rasa penghormatan kepada para sesepuh, tokoh masyarakat dan saudara atau kerabat yang diberi punjungan. pada tingkat terakhir yaitu nasi sebagai simbol hasil alam. Nasi yang berwarna putih ini juga bertujuan untuk mewujudkan kesucian.[5]
C.     Proses Punjungan
Proses tradisi punjungan ini dilakukan biasanya satu minggu sebelum hajatan yang bersamaan dengan penyebaran undangan. Bahkan, di dalam bahasa desa kelurahan karang malang dan juga sekitarnya ini mempunyai istilah lain yaitu ”iras-irus” yang berarti sekalian. Sehingga fungsi punjungan ini juga sebagai undangan, hanya saja disertai dengan bingkisan makanan dalam satu rantang sebagai rasa penghormatan. 


BAB IV
ANALISA LAPANGAN

Tradisi punjungan pada masa lalu benar-benar merupakan syarat tingkat budaya untuk menghormati orang-orang tertentu yang disepuhkan. Seseorang yang mempunyai hajat dengan niat lillahi ta’ala menginginkan agar hajatannya sukses dan mendapat dukungan dari para sepuh. Orang-orang yang menerima punjungan merasa sangat tersanjung. Mereka akan datang dalam acara hajatan meski tidak membawa apapun, kemudian mereka akan diterima dengan baik.
Namun pada saat ini sudah terjadi disorientasi dalam tradisi punjungan, yaitu digunakan sebagai sarana untuk menambah bekal. Punjungan ini akan diberikan kepada siapa saja yang sekiranya dianggap akan menyumbang lebih banyak, sehingga orang-orang yang miskin sepuh tidak akan dipunjung lagi.  Disamping itu, respon dari masyarakan kebanyakan akan mengeluh saat menerima punjungan ini, karena dengan hadirnya punjungan ini harus menyediakan sejumlah uang sebagai isi amplop untuk membantu penyelenggaraan acara hajatan. Sebagai contoh orang-orang yang hanya diberi surat undangan akan menyumbang sejumlah dua puluh lima ribu rupiah, penerima punjungan harus menyediakan sejumlah uang sebesar lima puluh sampai seratus ribu rupiah. Ditambah lagi seakan-akan suatu kewajiban bagi orang yang dipunjung untuk menghadiri acara hajatan, karena jika tidak hadir akan timbul efek psikologis seperti rasa malu. Lain halnya dengan orang yang diundang tanpa punjungan, kehadirannya tidak begitu medapat tekanan dari orang yang punya hajatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi ini sudah mengarah menjadi bebab tersendiri bagi orang-orang tertentu. Bagi orang yang mampu hal semacam itu mungkin tidak ada masalah, namun bagi orang yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja merasa kesulitan, hal ini akan menjadi masalah dalam perekonomian mereka.


BAB V
KESIMPULAN

Tradisi punjungan digunakan sebagai sarana informasi akan diselenggarakan acara hajatan yang ditujukan kepada para sesepuh, tokoh masyarakat, dan saudara atau kerabat sebagai rasa penghormatan, mohon ijin dan mohon doa restu yang disertai dengan bingkisan. Tradisi ini dilaksanakan satu minggu sebelum hajatan dan mempunyai filosofi bahwa semua makanan yang ada didalam punjungan bertujuan untuk mempererat persaudaraan.
Pada zaman sekarang ini, tradisi punjungan mengalami disorientasi, yaitu sebagai sarana penambah bekal yang efeknya hanya menjadi beban bagi orang yang dipunjung.




DAFTAR PUSTAKA

Daud,Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997)
Mardani,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011)
Syarifudin,Amir,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta: Kencana, 2009)


BIODATA


Nama            : Yuli Arfan
NIM             : 133511032
Jurusan          : Pendidikan Matematika
Alamat          : Karang Malang Rt 02/01 Mijen Semarang
Riwayat Pendidikan :
                     SD Negeri Karang Malang
                     SMP Negeri 35 Semarang
                     SMA Negeri 13 Semarang
                     UIN Walisongo Semarang
Email            : yuli.arfan@gmail.com
Facebook      : Yuli Arfan
Twitter          : @hyuugaarfan
Blog              : y-arfan.blogspot.com



[1] Mardani,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN,(Yogyakarta:Graha Ilmu,2011), hlm. 198
[2] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 61
[3] Amir Syarifudin,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta:Kencana,2009),hal. 157
[4] Amir Syarifudin,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta:Kencana,2009),hal. 158
[5] Wawancara dengan ekwanto Hersusetya,S.pd pada tanggal 9 Juni 2015 pukul 10.00 WIB