TRADISI PUNJUNGAN : PENGGANTI UNDANGAN
Di desa Karang Malang Kec. Mijen Kota Semarang
Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza
Chamami, M.Si
Oleh :
Yuli Arfan (133511032)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada zaman dahulu masyarakat pedesaan begitu kental dengan budaya gotong
royong, tolong menolong dan menghormati orang yang dituakan. Budaya-budaya
tersebut sering kali dijumpai saat ada acara-acara besar seperti perkawainan
dan khitanan. Di desa Karang Malang dan sekitarnya terdapat satu rangkaian
budaya yang difungsikan sebagai undangan untuk para sesepuh dan kerabat.
Undangan tersebut berupa punjungan yang berisi makanan sebagai rasa
penghormatan.
Seiring dengan perkembangan zaman dimana
masyarakat semakin padat dan jangkauan yang luaspun bisa ditempuh dengan cepat,
maka budaya “punjungan” ini semakin marak. Mungkin telah terjadi pergeseran
orientasi dimana kalau dahulu berorientasi pada ungkapan rasa syukur atas
rahmat tuhan akan tetapi sekarang cenderung kepada bisnis, bermewah-mewahan dan
dipaksakan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian punjungan?
2. Bagaimana filosofi yang ada dalam punjungan?
3. Bagaimana proses pelaksanaan punjungan?
BAB II
LANDASAN TEORI
Pesta
perkawinan atau yang disebut juga walimah adalah pecahan dari kata “walama”
artinya mengumpulkan. Karena dengan pesta tersebut dimaksudkan memberi doa
restu agar kedua mempelai mau berkumpul dengan rukun. Selain itu tujuan walima
adalah sebagai informasi dan pengumuman bahwa telah terjadi pernikahan,
sehingga tidak menimbulkan fitnah dikemudian hari.
walimah
perkawinan adalah perintah Nabi Muhammad
SAW sebagaimana sabda beliau kepada Abdurrahman bin ‘Auf: “adakan walimah
sekalipun hanya dengan seekor kambing”. Nabi Muhammad SAW pun memotong kambing
ketika mengadakan walimah untuk perkawinan beliau denan zainab binti Jahsyi.[1]
Seperti yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata,”Nabi mengadakan walimah saat
menikahi istri-istrinya, tidak seperti walimah saat menikahi Zainab. Beliau
mengadakan walimah dengan seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari:5168,Al-Fath:9/289)
Dari
keseluruhan proses, acara mengawinkan merupakan kegiatan terpenting, kegiatan
sebelumnya merupakan kegiatan yang mendahului atau kegiatan persiapan bagi
proses ini, termasuk juga acara akad nikah. Hanya dalam kegiatan inilah warga
kerabat jauh dan dekat diberi tahu jauh-jauh hari sebelumnya dan diharapkan
berkumpul selama beberapa hari pada acara mengawinkan.
Persiapan-persiapan
untuk melaksanaakan hajat mengawinkan telah dimulai jauh-jauh hari sebelumnya.
Berminggu-minggu sebelum pesta sedah dimulai mengumpulkan kayu api, yaitu
dengan membeli, meramu di hutan, menebang kayu-kayu diatas tanah sendiri atau
tanah kerabat atau tetangga dekat dengan seizin yang punya, yang dilaksanakan
sekeluarga atau dengan bantuan kerabat atau tetangga dekatnya. Langkah lain
ialah pemberitahuan secara resmi kepada kerabat dekat den tetangga dekat .[2]
Adanya perintah Nabi, baik dalam arti sunnah atau wajib,
mengadakan walimah mengandung arti sunnah mengundang khalayak ramai untuk menghadiri
pesta itu dan memberi makan hadirin yang datang. Tentang
hukum menghadiri walimah itu bila ia diundang pada dasarnya adalah wajib.
Kewajiban mengunjungi walimah itu berdasarkan kepada seruhan khusus Nabi untuk
memenuhi undangan walimah.[3]
Sesuai dengan yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah
bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian diundang ke walimah, maka
datanglah”. (HR. Al-Bukhari: 5173,Al-Fath:9/299)
Kewajiban
menghadiri walimah sebagaimana pendapat jumhur dan Zhahiriyah , bila undangan
itu ditujukan kepada orang tertentu dalam arti secara pribadi diundang. Hal ini
mengandung arti bila undangan walimah itu disampaikan dalam bentuk massal
seperti melalui mass media, yang ditujukan untuk siapa saja, maka hukumnya
tidak wajib.[4]
BAB III
KONDISI
LAPANGAN
A. Pengertian Punjungan
Punjungan berasal dari kata berkunjung yang
mempunyai maksud “atur bekti” yaitu untuk menghormati para sesepuh, para
tokoh masyarakat, dan saudara atau kerabat sebagai rasa penghormatan, mohon ijin
dan mohon doa restu bahwa yang
bersangkutan akan mengadakan hajatan
B. Filosofi Punjungan.
Makanan-makanan dalam punjungan disusun rapi dalam sebuah rantang. Isi dari
punjungan hampir sama dengan slametan. Tingkat pertama berisi “jajanan” yang
berupa jenang, kue lapis, wajik, tlogosari dan pisang. Pada tingkat ke dua
berisi sayuran yang biasanya berupa bakmi, tumis buncis dan sambal. Kemudian
pada tingkat ketiga berisi lauk pauk yaitu daging ayam, telur bacem, dan sambal
goreng. Pada tingkat terakhir yang paling bawah adalah nasi. Semua makanan yang
ada dalam punjungan ini masing-masing mempunyai arti.
jenang, wajik dan kue lapis berada
pada tingkat pertama yang mempunyai arti paling penting pada tradisi punjungan
ini. Jenang yang berwarna hitam dan wajik yang berwarna putih mempunyai arti
bahwa semua orang dari setiap golongan sama-sama diperlakukan dengan baik,
karena orang jawa lebih condong ke silaturrahmi. Jenang dan wajik di jadikan
satu tempat dengan kue lapis, dengan maksud hitam dan putih tersebut dapat
disatukan. Pada tingkat kedua terdapat bakmi yang mempunyai arti agar panjang
rizkinya dan agar semakin erat persaudaraannya seperti bakmi yang
“diuntel-untel”. Kemudian pada tingkat ketiga terdapat telur bacem yang
berwarna coklat yang mempunya arti bahwa orang jawa itu luarnya boleh jelek,
tapi dalamnya tetap putih. Dan pada inti telur yang berwarna kuning yang
melambangkan sosialistis. Adapun danging ayam yang merupakan maksud dari rasa
penghormatan kepada para sesepuh, tokoh masyarakat dan saudara atau kerabat
yang diberi punjungan. pada tingkat terakhir yaitu nasi sebagai simbol hasil
alam. Nasi yang berwarna putih ini juga bertujuan untuk mewujudkan kesucian.[5]
C. Proses Punjungan
Proses tradisi punjungan ini dilakukan
biasanya satu minggu sebelum hajatan yang bersamaan dengan penyebaran undangan.
Bahkan, di dalam bahasa desa kelurahan karang malang dan juga sekitarnya ini
mempunyai istilah lain yaitu ”iras-irus” yang berarti sekalian. Sehingga
fungsi punjungan ini juga sebagai undangan, hanya saja disertai dengan
bingkisan makanan dalam satu rantang sebagai rasa penghormatan.
BAB IV
ANALISA
LAPANGAN
Tradisi punjungan pada masa lalu benar-benar merupakan
syarat tingkat budaya untuk menghormati orang-orang tertentu yang disepuhkan.
Seseorang yang mempunyai hajat dengan niat lillahi ta’ala menginginkan agar
hajatannya sukses dan mendapat dukungan dari para sepuh. Orang-orang yang
menerima punjungan merasa sangat tersanjung. Mereka akan datang dalam acara
hajatan meski tidak membawa apapun, kemudian mereka akan diterima dengan baik.
Namun pada saat ini sudah terjadi disorientasi dalam
tradisi punjungan, yaitu digunakan sebagai sarana untuk menambah bekal.
Punjungan ini akan diberikan kepada siapa saja yang sekiranya dianggap akan
menyumbang lebih banyak, sehingga orang-orang yang miskin sepuh tidak akan
dipunjung lagi. Disamping itu, respon
dari masyarakan kebanyakan akan mengeluh saat menerima punjungan ini, karena
dengan hadirnya punjungan ini harus menyediakan sejumlah uang sebagai isi
amplop untuk membantu penyelenggaraan acara hajatan. Sebagai contoh orang-orang
yang hanya diberi surat undangan akan menyumbang sejumlah dua puluh lima ribu
rupiah, penerima punjungan harus menyediakan sejumlah uang sebesar lima puluh
sampai seratus ribu rupiah. Ditambah lagi seakan-akan suatu kewajiban bagi
orang yang dipunjung untuk menghadiri acara hajatan, karena jika tidak hadir
akan timbul efek psikologis seperti rasa malu. Lain halnya dengan orang yang
diundang tanpa punjungan, kehadirannya tidak begitu medapat tekanan dari orang
yang punya hajatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tradisi ini sudah mengarah
menjadi bebab tersendiri bagi orang-orang tertentu. Bagi orang yang mampu hal
semacam itu mungkin tidak ada masalah, namun bagi orang yang bahkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari saja merasa kesulitan, hal ini akan menjadi
masalah dalam perekonomian mereka.
BAB V
KESIMPULAN
Tradisi punjungan digunakan sebagai sarana informasi akan
diselenggarakan acara hajatan yang ditujukan kepada para sesepuh, tokoh
masyarakat, dan saudara atau kerabat sebagai rasa penghormatan, mohon ijin dan
mohon doa restu yang disertai dengan bingkisan. Tradisi ini dilaksanakan satu
minggu sebelum hajatan dan mempunyai filosofi bahwa semua makanan yang ada
didalam punjungan bertujuan untuk mempererat persaudaraan.
Pada zaman sekarang ini, tradisi punjungan mengalami
disorientasi, yaitu sebagai sarana penambah bekal yang efeknya hanya menjadi
beban bagi orang yang dipunjung.
DAFTAR PUSTAKA
Daud,Alfani, Islam dan Masyarakat Banjar,(Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1997)
Mardani,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2011)
Syarifudin,Amir,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta:
Kencana, 2009)
BIODATA
Nama : Yuli Arfan
NIM :
133511032
Jurusan : Pendidikan Matematika
Alamat : Karang Malang Rt 02/01 Mijen Semarang
Riwayat Pendidikan :
SD
Negeri Karang Malang
SMP
Negeri 35 Semarang
SMA
Negeri 13 Semarang
UIN
Walisongo Semarang
Facebook : Yuli Arfan
Twitter : @hyuugaarfan
Blog : y-arfan.blogspot.com
[1] Mardani,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI DUNIA ISLAM MODERN,(Yogyakarta:Graha
Ilmu,2011), hlm. 198
[2] Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,(Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1997), hlm. 61
[3] Amir Syarifudin,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta:Kencana,2009),hal.
157
[4] Amir Syarifudin,HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,(Jakarta:Kencana,2009),hal.
158
[5] Wawancara dengan ekwanto Hersusetya,S.pd pada tanggal 9 Juni 2015
pukul 10.00 WIB